Pada Senin, 3 Februari 2025, warga Desa Adat Jimbaran datang ke kantor DPRD Provinsi Bali untuk menyelesaikan sengketa tanah desa adat. Kelompok warga yang tergabung dalam Kepet Jimbaran telah menyiapkan gugatan class action terkait sengketa tanah seluas 200 hektar. Konflik agraria antara korporasi dan masyarakat desa adat Jimbaran telah berlangsung cukup lama tanpa penyelesaian yang jelas.
I Nyoman Tekat, perwakilan Desa Adat Jimbaran, menyampaikan bahwa sekitar 200 kepala keluarga di Desa Adat Jimbaran kehilangan tempat tinggal akibat sengketa tanah tersebut. Mereka terpaksa menutup jalan saat ada acara adat karena keterbatasan lahan. Menurut Nyoman Tekat, pada tahun 1994-1995 terjadi penggusuran masal bersamaan dengan peristiwa Pecatu Graha.
Warga Jimbaran berstatus sebagai penggarap tanah selama puluhan tahun, yang merupakan warisan Kerajaan Mengwi sejak abad 15. Tanah tersebut diwariskan secara turun temurun dan dikelola oleh Desa Adat Jimbaran. Koordinator warga Desa Adat Jimbaran, I Wayan Bulat, mengungkapkan bahwa dirinya beberapa kali diminta untuk pindah dari tempat tinggalnya, bahkan diminta untuk memindahkan Pura tua di desa.
Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali, I Nyoman Budi Utama, menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan kajian terlebih dahulu terkait kasus sengketa lahan di Desa Adat Jimbaran. Warga desa adat melibatkan 6 pengacara untuk memperjuangkan hak atas tanah seluas 45 hektar tersebut. Proses perjuangan warga Desa Adat Jimbaran untuk mendapatkan hak atas tanah mereka telah dimulai dengan sidang pertama di PN Denpasar.