Portal berita terpercaya prabowo subianto yang humanis,berani dan tegas
Berita  

Yusril Sebut Film Dirty Vote sebagai Salah Satu Bentuk Kebebasan Berpendapat

Yusril Sebut Film Dirty Vote sebagai Salah Satu Bentuk Kebebasan Berpendapat

Selasa, 13 Februari 2024 – 20:17 WIB

Jakarta – Guru besar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat bahwa film “Dirty Vote” tidak dapat disebut sebagai dokumenter. Alasannya, konten utama dari film tersebut adalah kliping berita dan tanggapan dari tiga pakar hukum.

“Ketiga pakar tersebut memberikan komentar mengenai berbagai hal yang terjadi dari berbagai pemberitaan, kemudian mereka memberikan pendapat. Pendapat itu kemudian bisa ditafsirkan oleh banyak orang, termasuk adanya kemungkinan kecurangan dalam Pemilu 2024,” ujar Yusril dalam keterangannya yang diterima pada Selasa, 13 Februari 2024.

Yusril juga menyoroti waktu perilisan film tersebut, yang ditayangkan pada masa tenang dan beberapa hari sebelum hari pemilihan. Oleh karena itu, wajar jika beberapa orang menilai film tersebut sebagai propaganda.

“Banyak orang mengatakan bahwa ini ‘Dirty Vote’ versus ‘Dirty Propaganda’. Satu judul film membicarakan tentang pemilu yang kotor, sedangkan satu lagi membicarakan propaganda kotor terhadap pihak tertentu yang dianggap berseberangan dengan pembuat film,” katanya.

Yusril, yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), menyebut politik sebagai sesuatu yang dinamis. Maka tak heran jika ada orang yang awalnya tidak tertarik pada politik, namun ikut meramaikan pesta demokrasi.

Pernyataan itu merujuk pada perubahan sikap calon wakil presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi sorotan dalam film “Dirty Vote”.

Terkait isu yang diangkat dalam film tersebut, seperti ketidaknetralan penyelenggara dan pejabat negara dalam pelaksanaan pemilu, tidak hanya ditujukan kepada pasangan Prabowo-Gibran saja. Pasangan calon Ganjar Pranowo-Mahfud MD juga turut dituduh melakukan kecurangan.

Namun, sayangnya, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar hanya sedikit ditampilkan dalam film.

“Sangat wajar jika orang bertanya-tanya apakah film ini disponsori oleh pihak tertentu, membawa pesan untuk paslon tertentu atau tidak,” tegas Yusril.

Meskipun terkesan tendensius dan propaganda, Yusril menyampaikan bahwa film tersebut adalah bagian dari kebebasan berekspresi.

“Tayangan film ini harus dihormati sebagai kebebasan berekspresi. Orang berbeda pendapat adalah hal yang normal. Jika tiga orang akademisi yang muncul dalam film tersebut mengkritisi pemilu, orang juga bisa mengkritisi pandangan yang mereka sampaikan,” ujarnya.

Terakhir, Yusril mengingatkan agar masyarakat tidak terpecah belah setelah menonton film tersebut. Pasalnya, perbedaan pendapat dan pilihan adalah hal yang lumrah, sehingga harus disikapi dengan bijaksana.

“Semoga masyarakat berpikir jernih dan objektif serta menyadari bahwa pemilu tidak akan pernah ideal seperti yang diharapkan. Kemungkinan kekurangan di sana-sini tidak dapat dihindari. Namun yang paling penting adalah pemilu yang benar-benar jujur dan adil sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 dan UU Pemilu,” jelas Yusril.